"Bukankah kalau seperti ini jadi tampak kau yang egois hm? Dia sudah minta maaf berkali-kali bukan?"
"Lalu kenapa kalau aku egois? Bukankah aku juga yang paling dirugikan? Well, kau taulah apa yang kumaksud 'rugi' di sini."
"Paling? Ah, kupikir tidak. Dari awal kau sudah tahu kan kalau...."
"Diam!"
"Jadi, yang PALING dirugikan atas masalah itu ya...."
"Kubilang diam!"
"Ayolah, kau juga salah. Bukankah kau bilang selalu memaafkan dan menyayangi teman-temanmu?"
"Teman? Aku tidak berteman dengannya!"
"Aishh... setidaknya kau dekat dengannya, ya... dulu maksudku."
"Sudahlah, ada topik lain?"
"Tidak, sampai kau memaafkannya dan meminta maaf pada...."
"Aku sudah memaafkannya!"
"Ck... jangan berbohong."
"Aku tak bohong, aku benar-benar sudah memaafkannya."
"Hah, kau memang payah. Dengan mata memerah seperti itu kau bilang sudah memaafkannya?"
"Ya setidaknya kami tidak sedang perang bukan?"
"Lalu?"
"Ya apa lagi? Semua sudah kembali seperti apa adanya. Seperti semula."
"Kau senang?"
"Ya... kupikir begitu."
"Tenang?"
"Apa maksud pertanyaanmu?"
"Apa kau pikir akan tenang jika kau masih menyimpan dendam pada orang lain hm?"
"Dendam? Aku tak pernah merasa dendam pada siapapun."
"Sudah kubilang kau itu payah, tidak pandai berbohong. Jadi, jujurlah, setidaknya pada dirimu sendiri."
"Ck... kau membuatku bingung!"
"Aku membuatmu bingung? Lalu kau sendiri bagaimana? Apa kaupikir aku tak bingung dengan semua ini hm?"
"Kenapa kau jadi ikutan bingung? Ini kan masalahku."
"Bodoh! kaupikir aku ini batu apa?"
"Siapa juga yang menganggapmu batu? Kenapa jadi emosi sih?"
"Kau
ini... apa tidak bisa kau ubah sedikit sifat egoismu itu? Meminta maaf
dan memaafkan, itu tidak akan merendahkan dirimu sama sekali. Ayolah,
jangan begini."
"Sudahlah, aku capek."
"Hei, aku belum selesai bicara."
"Ya sudah, teruskan sendiri saja."
"Aish... kau ini...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar