![]() |
source: wikipedia |
Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dilahirkan di Yogyakarta, 21
April 1879. Ia adalah putra dari seorang penjaga sebuah toko kecil di Yogyakarta
bernama Ki Sutodrono dan ibunya adalah seorang wanita berdarah Gorontalo. Meski
bukan berasal dari kaum bangsawan, namun semangat belajarnya sangat tinggi. Ia
berhasil mengenyam pendidikan hingga ke negeri Belanda, Perancis, Inggris dan
Amerika. Ia berhasil memperoleh gelar dokternya di negeri Belanda pada usia 20
tahun. Sedangkan gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) ia peroleh dari
Kesultanan Yogyakarta karena jasanya bertugas di sebuah rumah sakit di
Yogyakarta pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat juga merupakan tokoh pergerakan
nasional, meski kiprahnya tak setenar Ir. Soekarno ataupun Bung Hatta. Ia
merupakan salah satu pendiri Boedi Oetomo dan sempat menjadi ketua di tahun
1914-1915. Ia juga mewakili Boedi Oetomo menjadi anggota dalam Volksraad
bentukan Belanda sampai tahun 1931. Memiliki andil besar dalam usaha mencapai
kemerdekaan Indonesia dengan menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Saat itu ia pernah
menanyakan tentang dasar negara Indonesia jika kelak telah merdeka dan
dijawab Bung Karno dengan uraiannya tentang pancasila. Uraian tersebut diyakini
pernah ditulis Radjiman Wedyodiningrat dalam sebuah pengantar penerbitan buku
Pancasila yang pertama tahun 1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten
Ngawi.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat mulai pindah ke Ngawi pada tahun 1934.
Ia memilih menetap di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi karena
keprihatinannya melihat warga Ngawi yang terserang penyakit pes. Sejak saat itu
ia mengabdikan dirinya menjadi dokter ahli penyakit pes. Selain itu dr. Radjiman juga pernah
memberdayakan dukun bayi di Ngawi untuk mencegah kematian ibu saat melahirkan
dan juga bayinya. Ia sangat peduli terhadap kesehatan masyarakat, terutama
mereka yang tidak mampu. Ia juga dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi.
Selain menjadi dokter, dr. Radjiman Wedyodiningrat ternyata juga
menyalurkan ilmunya kepada mereka yang membutuhkan. Hal itu terbukti dengan
sepak terjangnya mengajar anak-anak di Dusun Dirgo yang tidak bisa mengenyam
pendidikan karena tidak adanya biaya. Lokasi tempatnya mengajar saat itu telah
dibangun sebuah Sekolah Dasar dan sampai kini masih terdapat jejaknya, yaitu SD
Negeri 3, 4, dan 5 Kauman.
Pada tanggal 20 September 1952, Dr. Radjiman Wedyodiningrat
menghembuskan napas terakhirnya di Dusun Dirgo, Widodaren, Ngawi. Jenazahnya
dimakamkan di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta, berdekatan dengan makam dr.
Wahidin Sudirohusodo, seorang yang telah membesarkannya. Rumah kediaman dr.
Radjiman Wedyodiningrat di Ngawi kini sudah menjadi situs yang berusia 134
tahun. Rumah tersebut dulunya juga pernah disinggahi Bung Karno dua kali semasa
hidup dr. Radjiman Wedyodiningrat.
ref: wikipedia
-rdp-
10/11/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar